Bengawan Solo Purba (Ekspedisi BSP, 2010) |
Kabupaten Gunung Kidul merupakan salah satu kabupaten di Propinsi D.I. Yogyakarta dengan potensi batu gampingnya yang khas sebagai penciri utama bentuklahan asal proses solusional. Kawasan karst sebenarnya memiliki potensi sumberdaya yang bisa dikembangkan seperti sumberdaya air, lahan, hayati, dan berbagai macam bentukan karst positif dan negatif seperti gua, doline, bukit karst, serta pantai-pantai bertebing curam yang terhampar luas di sepanjang pantai selatan. Secara teoritis, struktur geologi sangat mempengaruhi pembentukan karst khususnya sesar dan kekar yang memotong batu gamping yang terbentuk seiring dengan pengangkatan ketika pembentukan awal Gunungsewu terjadi. Dengan asumsi bahwa pembentukan gua-gua juga dikontrol oleh pola kekar sesar, sehingga kajian pola kelurusan pada daerah karst sangat menentukan pola aliran bawah tanah
Stalagtit Gua (Ekspedisi BSP,2010) |
Bila memang benar pada mulanya aliran Bengawan Solo mengalir dan memotong Pegunungan Sewu sampai bermuara di Samudera Hindia, tetapi yang tampak saat ini sungai bermuara di Gresik, maka semestinya meninggalkan jejak berupa alur lembah kering menyerupai sungai yang mengarah ke selatan Jawa. Keberadaan Lembah Giritontro di Desa Pucung, Kabupaten Gunung Kidul diasumsikan sebagai Lembah Bengawan Solo Purba. Kandungan sepanjang alur lembah kering Giritontro juga paling tidak bisa diperkirakan mengandung bahan rombakan dan endapan dari hulu atau justru berasal dari batuan di sekitar alur lembah itu sendiri. Penelusuran sepanjang lembah juga bisa memberikan sedikit indikasi tentang proses geologi yang mengakibatkan pengangkatan Pegunungan Selatan. Atas dasar pemikiran tersebut, seluruh kegiatan Ekspedisi Bengawan Solo Purba aspek geomorfologi ditujukan untuk dapat menyingkap sejarah aliran Sungai Bengawan Solo
Sumberdaya mineral yang potensi untuk ditambang sebenarnya sudah cukup jelas yaitu mineral karbonat yang sangat ekonomis. Tambang batu gamping diusahakan sebagai bahan pencampur bahan bangunan. Batu gamping yang ditambang langsung dihancurkan menjadi butir-butir kecil dan dikemas dalam bagor lalu siap didistribusikan. Lokasi industri pengolahannya pun letaknya dekat dengan area penambangan. Ada pun keberadaan gua yang banyak ditemukan di lereng bukit karst di Giritontro memiliki potensi untuk dijadikan sarang burung walet seperti yang terdapat di Pantai Ngungap. Namun, dengan adanya potensi ekonomis seperti itu, peran pemerintah sebaiknya lebih digiatkan untuk mengawasi jalannya eksplorasi jangan sampai upaya eksploitasi melebihi batas penyediaan untuk masa depan.
Pola kelurusan yang tersaji pada peta geomorfologi hanya menampakkan sebagian kecil dari pola kelurusan keseluruhan kawasan pegunungan selatan. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya bahwa keberadaan gua dan sungai bawah tanah erat kaitannya dengan pola kelurusan. Pola-pola inilah yang nampak dari citra dengan adanya punggungan igir yang lurus yang setidaknya menggambarkan bagaimana pembentukan muka bumi karst. Hal ini juga berhubungan dengan adanya undak semacam teras sungai di sepanjang Lembah Giritontro dan perubahan elevasi dari selatan ke utara. Keberadaan zona ini diperkirakan berasosiasi dengan struktur sesar dengan kemiringan menghadap ke utara dan memanjang dari barat ke timur di sepanjang selatan Pulau Jawa perbukitan karst Gunung Sewu. Bahkan dengan kelurusan ini bisa diterapkan untuk penentuan level gua setelah penelusuran yang dilakukan di sepanjang Lembah Giritontro.
Gua diartikan sebagai lubang di dalam batuan berukuran sangat cukup besar, sehingga dapat ditempati dan ditinggali oleh manusia, dan dapat berada dalam kondisi kering dan basah (Jennings, 1979). Ditemukan beberapa lubang yang diasumsikan sebagai gua dan dulunya merupakan saluran air bawah tanah yang terpotong akibat pengangkatan.
Namun, dari sekian jumlah gua yang ditemukan sebagian besar termasuk gua kering. Bahkan ada beberapa gua yang memiliki kedalaman lebih dari 10 meter dengan lebar mulut gua lebih dari 3 meter. Hampir semua gua yang ditemukan telah memiliki stalagtit dan stalagmit sebagai bukti bahwa proses pelarutan bekerja cukup intensif pada masa itu karena sekarang ditemukan dalam kondisi kering.
Hasil analisis penampang melintang gua yang terbagi menjadi tiga level menyajikan data bahwa di lembah Giritontro terdapat tiga gua yang berada pada level 3, tiga gua pula pada level 2, dan tujuh buah gua terletak pada level 1. Pembagian level ini didasarkan pada hasil penelitian Urushibara tahun 1994 dan 1997. Level pertama merupakan gua karst yang terbentuk pertama dengan ketinggian dekat pantai 80 meter dan ke arah darat semakin tinggi dengan ketinggian mencapai 130 meter. Gua yang termasuk pada level kedua menurut Urushibara terbentuk pada masa glasial akhir dengan ketinggian terhadap laut 50 meter sampai 90 meter semakin ke arah darat. Untuk gua yang tergolong level ketiga terbentuk pada 80.000 hingga 100.000 BP dengan ketinggian di dekat pantai 20 m sampai 76 mdpal ke arah darat.
Penampang Topografi Gua Karst (Ekspedisi BSP,2010) |
Penampang menunjukkan bahwa secara umum gua yang terletak di bawah umurnya lebih tua daripada gua yang letaknya lebih atas. Hal ini sesuai dengan prinsip sedimentasi. Gua-gua di level tertinggi mempunyai sejarah hunian paling tua. Hipotesis ini diambil dari asusmsi bahwa setelah terjadi pengangkatan, gua mengering dan tersingkap di permukaan, segera dijadikan tempat tinggal. Menurut penelitian Haryono dan Sartohadi, gua tempat muncul dan masuknya aliran sungai bawah tanah pada umumnya lebih sedikit menyimpan tinggalan daripada gua yang kering. Hal ini disebabkan tinggalan akan terangkut oleh aliran dan pindah ke tempat lain.
Selain kenampakan teras undak di lapangan dan pola kelurusan yang nampak di citra, bisa diamati banyak sekali dip strike sebagai penanda kemiringan perlapisan batuan terhadap bidang horisontal. Hasil analisis dari pengukuran dan pengeplotan dip strike memberikan gambaran tentang bagaimana proses pengangkatan itu terjadi, sehingga meninggalkan bekas berupa lembah sungai kering. Dari hasil itu diperoleh dugaan kuat bahwa sumber tekanan berasal dari tunjaman subduksi dari lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia. Akibatnya, kemiringan mengarah ke utara yang secara tidak langsung bisa dikaitkan juga dengan arah pola kelurusan yang hampir semuanya mengarah barat laut-tenggara. Pada akhirnya terjadi pembalikan arah yang terjadi sejak batu gamping formasi Wonosari terangkat atau muncul ke permukaan. Kecepatan proses pengangkatan ini tidak dapat diimbangi oleh proses penggerusan aliran bengawan solo. Akibatnya aliran Bengawan Solo terbendung dan terbentuk lingkaran danau disekitar lembah Baturetno sampai Eromoko, hingga pada akhirnya genangan tersebut menemukan outlet menuju daerah yang lebih rendah yaitu ke arah utara. Pada proses terangkatnya dasar laut yang semula berupa teluk besar, berlangsung pembentukan koloni terumbu berbukit yang kemudian menjadi bagian dari Pegunungan Seribu. Bukit-bukit di daerah tersebut hingga saat ini secara jelas memperlihatkan format batuan koral serupa dengan batuan di dasar lautan. Bengawan Solo Purba meninggalkan jejak undak-undak sungai pada kedua dinding lembahnya. Material sedimen penyusun undak pertama pada umumnya telah mengalami pelapukan menjadi bahan tanah berwarna merah kecoklatan belum memperlihatkan morfologi tanah secara sempurna, didalamnya banyak mengandung fragmen batuan beku, rijang dan batugamping. Endapan undak kedua tersusun atas perselingan antara batulempung berwarna coklat kehitaman dengan batupasir.
Diagram Kipas (Ekspedisi BSP,2010) |
Titik-titik keberadaan dip strike di sepanjang Lembah Giritontro dapat digunakan untuk analisis sesar kekar yang kemudian dapat memberikan gambaran arah pengangkatan dan keberadaan gua. Analisis kekar menggunakan cara grafis. Dari hasil analisis diagram kipas dapat diambil kesimpulan bahwa arah tekanan tunjaman lempeng yang berada di sebelah selatan mengakibatkan retakan dan patahan dominan mengarah ke barat laut tenggara karena strike terbanyak bersudut N 65 W. Kelurusan-kelurusan ini menunjukkan arah pengangkatan dominan menuju ke barat laut tenggara. Kelurusan-kelurusan ini juga berperan besar di dalam pembentukan gua. Gua sendiri memiliki fungsi utama sebagai penunjuk adanya sungai bawah tanah. Kelurusan yang umumnya mengarah ke tenggara menuju pantai selatan dapat dijadikan indikasi bahwa sungai-sungai bawah tanah juga mengalir relatif ke arah pantai selatan. Apalagi berdasarkan penuturan warga setempat bahwa jika laut surut, maka banyak ditemukan air sungai dari gua bermunculan di pantai selatan. Para ahli lebih mengenal istilah ini dengan nama resurgence.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar